Dr. Rasyidin, Seniman Nasional Asal Aceh, Kritik Keras Kebijakan MPU Banda Aceh yang Larang Konser Musik

SIARAN PERS
Solo, 31 Agustus 2025

Solo, (BA) – Dr. Rasyidin, M.Sn, seniman teater nasional asal Aceh dan doktor seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, menyampaikan kritik terbuka terhadap kebijakan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh yang menolak menerbitkan izin konser Band Hindia baru-baru ini. Dalam pernyataannya yang dirilis dari Solo pada 31 Agustus 2025, Rasyidin mempertanyakan dasar fatwa yang dianggap mengekang ruang ekspresi generasi muda.

“Sudah saatnya kita bertanya: ada apa sebenarnya di balik penolakan izin konser oleh MPU Banda Aceh? Apakah benar konser adalah ancaman moral? Ataukah ini hanya bentuk lain dari pembungkaman ekspresi publik?” ujar Rasyidin.

Menurutnya, pelarangan konser justru menunjukkan bagaimana penerapan Syariat di Aceh kini kian menjauh dari semangat keadilan dan kemanusiaan.

“Kerusakan moral terbesar hari ini bukan datang dari panggung-panggung seni. Ia justru bersemayam di meja-meja birokrasi: korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan hilangnya rasa malu dalam mengelola uang rakyat,” tegas Rasyidin, yang juga mengajar sebagai dosen teater di ISBI Aceh.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa pelarangan kegiatan seni seperti konser tidak hanya menghambat kreativitas anak muda, tetapi juga mematikan geliat ekonomi lokal.

“Ketika denyut kota Banda Aceh melemah karena pembatasan yang tidak proporsional, dampaknya terasa luas—dari sektor UMKM hingga daya beli masyarakat yang terus menurun,” tambahnya.

Rasyidin juga menyoroti ketidakhadiran para pemangku kepentingan dalam kegiatan seni budaya.

“Ironisnya, banyak pejabat yang menolak datang ke konser meskipun diundang. Lantas, dari mana mereka mengambil kesimpulan negatif tentang acara tersebut? Apakah kajian sudah dilakukan secara adil dan menyeluruh?”

Ia menekankan pentingnya menempatkan hak-hak sipil masyarakat dalam posisi yang setara. “Kita semua punya hak yang sama di hadapan hukum. Jika konser dianggap pembawa petaka, mana buktinya? Bukankah konser dan festival juga ada di negara-negara Islam lain, dan mereka tidak serta-merta menjadi ladang bencana?” tanya Rasyidin.

Di akhir pernyataannya, Rasyidin mengingatkan bahwa agama seharusnya membimbing, bukan menakut-nakuti.

“Agama adalah relasi suci antara manusia dan Tuhannya. Ia mengajarkan kebaikan, bukan ketakutan. Bukan agama yang sempit seperti tafsir mereka yang baru saja membeli mobil Alphard dan Pajero, tapi tega menutup akses tumbuhnya gaya hidup positif anak muda,” sindirnya.

Sebagai penutup, Rasyidin memperingatkan akan potensi munculnya gerakan civil society yang menuntut ruang ekspresi lebih luas dan keadilan sosial yang merata di Aceh. “Kalau terus dibiarkan, ini akan menjadi retakan besar di menara gading kekuasaan yang dibangun di atas cara berpikir sempit. Aceh harus bangkit dengan semangat baru, bukan dibungkam oleh ketakutan lama.”

Narahubung: Rasyidin –
Email:
Telepon:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *