BA – Dalam lanskap musik Indonesia, Kunto Aji terus membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar musisi, tetapi juga penyembuh batin melalui nada dan kata. Lagu “Jernih”, trek kelima dari album Pengantar Purifikasi Pikir (2023), hadir sebagai manifestasi ketulusan dan upaya manusia untuk mencapai kedamaian lewat pemaafan. Diproduseri oleh Afif Gifano, Pandji Akbari, dan sang penyanyi sendiri, lagu ini bukan hanya enak didengar, tapi juga menjadi panduan kontemplatif dalam menghadapi luka dan ketimpangan hidup.
🌘 Pembuka yang Mencekam Sunyi: Dunia yang Tak Selalu Adil
“Aku berserah semakin malam
Semakin lirih suara terdengar
Mengapa dunia tak adil”
Lagu ini dimulai dengan suasana malam yang gelap dan sunyi—waktu ketika manusia kerap berdialog paling jujur dengan dirinya sendiri. Dalam diam, suara yang lirih menjadi semakin terdengar: suara hati. Lirik ini langsung mengangkat satu tema universal—ketidakadilan dunia. Sebuah pernyataan yang tidak menghakimi, tapi sekadar menyuarakan kelelahan eksistensial.
Di balik kesederhanaan kalimat, terkandung sebuah pertanyaan mendalam tentang struktur kehidupan, di mana luka, kehilangan, dan kekecewaan seolah lebih sering datang daripada jawaban atau keadilan
🩹 Luka Basah dan Maaf yang Terlambat: Realitas Emosional yang Kita Kenal
“Luka yang basah masih terasa
Tak ada maaf sempat terucap
Aku hanya ingin merasakan damai”
Inilah bagian paling menyentuh dari lagu ini. Luka yang “basah” menggambarkan trauma yang masih segar—belum sempat kering, belum sempat sembuh. Lalu muncul frasa tragis: “Tak ada maaf sempat terucap.” Ini bukan hanya tentang kegagalan meminta atau memberi maaf, tapi juga tentang waktu yang berlalu terlalu cepat. Mungkin seseorang telah pergi. Mungkin kesempatan sudah hilang.
Keinginan untuk merasakan “damai” menjadi inti lagu ini—sebuah permintaan sederhana, namun sulit dicapai tanpa terlebih dahulu melewati proses yang menyakitkan: memaafkan.
🧘 Memaafkan: Bukan Melupakan, Tapi Membebaskan Diri
“Jiwa yang tertawan, aku memaafkan
Hati yang berlubang, aku memaafkan”
Lagu ini menggeser paradigma umum tentang pemaafan. Bukan sebagai sikap heroik terhadap orang lain, tapi sebagai jalan pembebasan diri. Jiwa yang tertawan dan hati yang berlubang adalah dua metafora mendalam untuk dampak luka batin: trauma, kebencian, rasa bersalah, dendam, dan segala bentuk emosi yang merantai diri.
Penting untuk dicatat: lirik ini tidak menyebutkan siapa yang dimaafkan. Ini bisa tentang orang lain, atau bahkan diri sendiri. Dan justru di sinilah kekuatannya—lagu ini memberi ruang interpretasi personal, memungkinkan setiap pendengar menempatkan dirinya dalam narasi tersebut.
💧 Pembersihan Jiwa: Menuju Kejernihan yang Menenangkan
“Agar yang keruh, terurai luruh
Agar hatiku, semakin teduh”
Pada bagian ini, lagu bertransisi dari rasa sakit ke proses penyembuhan. “Yang keruh” bisa berarti pikiran negatif, trauma, atau dendam. Prosesnya bukan menghapus, tetapi mengurai dan meluruhkan—kata kerja yang penuh kelembutan. Ini bukan pembersihan yang kasar, tapi pemurnian yang pelan dan sabar.
Hati yang “semakin teduh” adalah hasil akhir dari proses pemaafan. Kejernihan tak datang dari menghindar, tapi dari menghadapi luka dengan tenang.
🔁 Repetisi sebagai Doa dan Terapi
“Aku memaafkan, aku memaafkan…”
Repetisi frasa “aku memaafkan” yang terus diulang hingga akhir lagu bukan sekadar pengulangan artistik. Ini adalah mantra, afirmasi, bahkan doa. Psikolog menyebutnya sebagai verbal self-therapy—proses penyembuhan yang terjadi saat seseorang mengucapkan kata-kata penguatan secara terus-menerus hingga meresap ke alam bawah sadar.
Bukan tidak mungkin, pendengar akan ikut terbawa mengucapkannya dalam hati—dan di situlah letak kekuatan transformatif lagu ini. Ia tidak menyuruh kita untuk sembuh, tapi mengajak kita untuk menyembuhkan diri sendiri.
🎧 Sebuah Lagu, Banyak Fungsi: Musik, Meditasi, dan Pengakuan Diri
“Jernih” bukan sekadar lagu. Ia bisa menjadi:
-
Musik untuk perenungan malam, saat kita ingin menenangkan pikiran.
-
Terapi emosional, ketika kita merasa terlalu lelah untuk menanggung luka sendirian.
-
Doa yang dibisikkan dalam sunyi, agar damai hadir di antara kekacauan batin.
Album Pengantar Purifikasi Pikir jelas bukan proyek musik biasa. Ia adalah perjalanan spiritual dalam bentuk suara, dan “Jernih” adalah salah satu titik nadir dan sekaligus titik terang di dalamnya.
✨ Penutup: Kita Semua Ingin Damai, Tapi Harus Lewat Luka
Kunto Aji melalui “Jernih” tidak memberi janji kosong atau solusi cepat. Ia justru menunjukkan bahwa untuk merasa damai, kita harus jujur terhadap luka, ikhlas terhadap waktu yang telah lewat, dan berani memaafkan. Karena hanya dengan itu, yang keruh bisa menjadi jernih, dan yang berat bisa menjadi ringan.
Dan mungkin, seperti yang disampaikan dalam lagu ini, pada akhirnya kita semua hanya ingin satu hal:
“Aku hanya ingin merasakan damai.”