Syekh Ahmad Bin Rifa’i Dan Syekh Hamzah Fansuri Dua Tokoh Pemikir Dan Penyebar Islam Dengan Seni Di Aceh

Kajian Seni Jalanan

Esai, Opini102 Dilihat

BA – Pengalaman Hamzah Fansuri kita bisa melihat bahwa semua Syair-syair Hamzah Fansuri adalah puisi-puisi sufistik yang mengandung ajaran tasawuf tentang pencarian Tuhan, penyerahan diri, dan pemahaman tentang realitas hidup. Karya-karya yang terkenal meliputi Syair Perahu, Syair Dagang, Syair Burung Pinggai (atau Unggas), dan Syair Burung Pungguk. Ciri khasnya adalah penggunaan rima a-a-a-a, pengaruh sastra Arab dan Persia, penggunaan metafora seperti anak dagang dan laut, serta pengenalan individualitas dalam sastra Melayu lama.

Penelusuran Syekh Ahmad bin Rifa’i bisa kita teliti lebih jauh bahwa Rapa’i yang dijadikan alat musik untuk Syair-syair dan Ayat-ayat Al-Qur’an menjadi lebih indah. Dengan sebuah alat musik pukul yang berasal dari Aceh Syekh Rifa’i menjalankan misi penyebaran Agama Islam dengan tanpa penolakan yang signifikan dari masyarakat Aceh. Menurut kepercayaan masyarakat Aceh, alat musik ini diciptakan oleh Syekh Ahmad bin Rifa’i yang merupakan pendiri tarikat Rifa’iyyah.

Kemudian kita merujuk kepada Al-Quran ada Frasa “Aku ciptakan langit dan bumi” merujuk pada pernyataan Allah SWT yang terdapat dalam berbagai ayat Al-Qur’an, seperti dalam Surat Hud ayat 7 dan Surat Al-Ankabut ayat 44, yang menjelaskan bahwa Dia adalah Pencipta alam semesta ini dalam enam masa, bukan main-main, dan ada banyak tanda kekuasaan-Nya bagi orang mukmin. Pernyataan ini juga ditemukan dalam Alkitab pada Kejadian 1:1 yang menyatakan bahwa “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”, serta dalam Pengakuan Iman Rasuli yang menyatakan “Pencipta langit dan bumi”.

Pernyataan “aku ciptakan langit dan bumi untuk di nikmati” merujuk pada konsep bahwa Allah menciptakan alam semesta, termasuk langit dan bumi, sebagai sarana untuk dinikmati dan diambil manfaatnya oleh manusia. Beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan tujuan ini, seperti dalam Surah Ibrahim ayat 32-34, yang menyatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi, menurunkan hujan, menundukkan kapal dan sungai, serta mengatur matahari dan bulan untuk menjadi rezeki dan sumber nikmat bagi manusia. Selain itu, penciptaan alam ini juga bertujuan sebagai tanda kebesaran Allah dan untuk menguji amalan manusia.

Dan pada statemen ini yang paling menarik, Kesenian Islam di Aceh telah berlangsung hampir delapan abad, yang artinya sama dengan separuh lebih dari usia seni Islam itu sendiri, tapi objek dan aspek keseluruhannya masih banyak yang belum tergali. Studi khusus tentangnya sangat minim. Kajian yang muncul dari meja para akademisi selama seratus tahun belakangan, juga belum seperseratus dari yang seharusnya. Namun, dengan keterbatasan dan minimnya kajian di bidang ini, tidak serta merta menjadikan seni Islam di Aceh dipandang sebagai seni pinggiran, seperti yang lebih dulu dialami dalam studi historiografinya.(Arya Purbaya)

Sementara bagi peneliti bahwa ada analisa dan kajian yang belum terjawab dengan baik sampai detik ini. Fenomena Politik sektoral yang pragmatis dalam kurun waktu yang panjang telah menghancurkan seluruh komponen sejarah yang sudah terjadi.

Hari ini antitesa nya adalah kita bukan Aceh, tapi kita Arab yang berada di Aceh. Kalau Syech-Syech dari Al Baghdadi dan Gujarat berteman dengan seni untuk memudahkan pengaruh dan penyebaran Agama Islam lebih mudah masuk ke Aceh. Justru pemikiran Tengku-tengku jaman sekarang tidak kuat dengan analisis dan sosiologis literasi sejarah dan pada akhirnya berimprovisasi pragmatis meminggirkan seni dari kehidupan manusia di Aceh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *