Menari dalam Diam: Revitalisasi Janger Kolok di Desa Bengkala Bangkitkan Kesejahteraan dan Harapan

Budaya4 Dilihat

Singaraja, (BA) — Di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng, Bali, hidup sebuah komunitas unik yang dikenal sebagai Komunitas Kolok — masyarakat tuli yang memiliki bahasa, budaya, dan cara berkomunikasi khas. Dari komunitas inilah lahir Tari Janger Kolok, tarian tanpa suara yang berpijak pada ritme tubuh, getaran tanah, dan ekspresi wajah sebagai bahasa kebersamaan.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, denyut Janger Kolok mulai melemah. Latihan tari jarang dilakukan, sanggar-sanggar sepi, dan generasi muda kehilangan minat. Padahal, bagi masyarakat Kolok, Janger bukan sekadar tari — ia adalah ruang ekspresi, alat komunikasi, bahkan terapi jiwa.

Kondisi itu menggugah tim pengabdian dari Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) yang diketuai oleh Dewa Gede Firstia Wirabrata, M.Psi., Psikolog, bersama Prof. Dr. Dewa Bagus Sanjaya, M.Si., dan Dr. Putu Nanci Riastini, M.Pd. Mereka melaksanakan program bertajuk “Revitalisasi Janger Kolok dalam Rangka Penguatan Psiko-Kognitif dan Wellbeing Komunitas Kolok serta Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa Bengkala.”

Program ini merupakan bagian dari Program Inovasi Seni Nusantara (PISN) Tahun 2025, yang didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.

“Tujuan utama program ini bukan sekadar melestarikan kesenian, tetapi juga meningkatkan fokus, ekspresi diri, dan kesejahteraan mental masyarakat kolok melalui seni,” ujar Dewa Gede Firstia, Kamis (6/11/2025).

Kegiatan dimulai dengan seminar wellbeing berbasis seni pertunjukan, menggunakan bahasa isyarat dan media visual agar peserta memahami bahwa menari bisa menjadi sarana terapi diri.

“Menari membuat hati kami tenang,” ungkap salah satu peserta melalui penerjemah bahasa isyarat.

Setelah itu, pelatihan Tari Janger Kolok dilakukan dua kali seminggu. Latihan tidak hanya menekankan teknik, tetapi juga koordinasi, keseimbangan, dan ekspresi emosi. Hasilnya nyata: tingkat konsentrasi peserta meningkat dari 60 menjadi 82, sementara rasa bahagia subjektif naik dari 5,4 menjadi 8,3 (skala 1–10).

Agar keberlanjutan terjaga, tim pengabdian membantu membentuk struktur organisasi sanggar seni Kolok, dengan pengurus yang seluruhnya berasal dari komunitas itu sendiri. Mereka mendapat pelatihan manajemen, promosi digital, hingga produksi konten media sosial. Dalam sebulan, komunitas ini telah aktif mempublikasikan lebih dari lima unggahan tentang Janger Kolok di platform digital.

Sebagai puncak kegiatan, lahir versi baru Tari Janger Kolok yang dipentaskan di hadapan lebih dari 100 penonton — bukti bahwa dalam senyap, semangat masih menyala.

Kepala Desa Bengkala, I Made Astika, menyampaikan rasa bangganya atas kebangkitan ini.

“Janger Kolok bukan hanya warisan budaya, tapi juga sumber semangat hidup masyarakat kolok. Dengan pendampingan seperti ini, warga kami jadi lebih percaya diri dan bisa mandiri,” ujarnya.

Revitalisasi Janger Kolok kini menjadi simbol kebangkitan masyarakat tuli Bengkala — sebuah perwujudan dari seni yang tidak sekadar indah, tetapi menyembuhkan.

“Kami ingin Janger Kolok tidak hanya lestari, tetapi juga menjadi sumber kekuatan dan kebanggaan masyarakat Bengkala,” tegas Dewa Gede Firstia.

Dalam diam tanpa suara, mereka kembali menari — menyulam harmoni, menyalakan harapan, dan membuktikan bahwa kebahagiaan tak selalu butuh suara untuk didengar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *