Silek Sebagai Program Residensi Lapuak-Lapuak Dikajangi#2 di Kota Solok, Sumatera Barat

Seni, Seni & Media318 Dilihat

Solok, Bilikanalogi – Di Kota Solok, silek  tumbuh melalui dua aliran. Kedua aliran tersebut berasal dari pagaruyuang  dan agam. Silek yang berasal dari utara dan selatan yaitu pagaruyuang adalah bagian selatan serta lebih mengarah kepada bagian pesisir dan lebih mendominasi dasar silek yaitu langkah 4 (empat). Langkah 4 (empat) lebih bersifat dalam bentuk pertahanan. Gerakan yang dilakukan lebih mengarah kepada salam (adab), ruang tubuh yang digunakan lebih kecil, langkah yang digunakan menyanding, melindungi dada (alif, lam, ha). Salah satu catatan rahasiailmu.wordpress.com mengatakan Alif, Lam,Ha adalah ucapan kepada rahasiamu, penjaga urat dan sumsum Mu, Qalbi kepada Allah. Sehingga dalam Langkah 4 lebih membentuk pertahanan tubuh dan menyerahkan diri kepada Allah. Sedangkan yang berasal dari agam yaitu bagian utara lebih mengarah kepada penyerangan dan lebih mendominasi dasar silek yaitu langkah 3 (tiga). Langkah 3 (tiga) lebih membuka badan dan tangan lebih mencengkeram. Cengkeram menurut KBBI adalah memegang erat-erat dengan cakar (kuku), dan menguasai (menggenggam). Hal demikian karena langkah 3 yang berasal dari agam adalah silat harimau. Oleh karena itu silat di Solok adalah pencampuran antara kedua aliran yang berasal dari utara dan selatan.

Dalam memulai silat dibuka terlebih dahulu melakukan pembuka yang dinamakan Pembuka Pecah Manggis. Teknik dalam melakukannya terlebih dahulu ke belakang, ke samping, dan kemudian ke depan. Zaman dahulu di Solok silek menjadi seni permainan yang muncul ketika sawah di Solok sedang panen padi. Oleh karena itu, setelah panen maka diadakanlah seni pertunjukan silek. Pertunjukan tersebut juga menjadi ajang bagaluik atau bercanda antar sesama masyarakat karena kegembiraan yang telah diperolehnya.

Pertunjukan seni permainan silek dahulunya dilakukan di Pematang. Pematang menurut KBBI adalah jalan kecil yang agak ditinggikan (di sawah, ditempat yang berpaya-payam dan sebagainya) dan pengertian lainnya yaitu bagian tanah di sisi kotak penggalian yang dibiarkan sehinggga tempat yang digali tampak dan dapat terus diteliti. Oleh karena itu menurut KBBI pematang sawah adalah tambak (tanggul) kecil utnuk batas atau jalan di sawah. Jadi ketika panen sudah tiba akan dilakukan silek dan akan muncul juga nenek-nenek mengeluarkan ilmu batin. Mereka akan diberikan tantangan siapa yang bisa membawa batuang  atau bambu ke sawah.

Silek
Peserta Residensi Lapuak-Lapuak Dikajangi#2 di Kota Solok (Komunitas Gubuak Kopi)

Datuak Tan Panggak (15 Oktober 2018, Solok) mengatakan silek tuo mengarah kepada olah batin. Gelar Datuak Tan Panggak didapatkan dari adat dan merupakan salah satu turunan dari Mamak (sutan). Ada beberapa adab dalam silek dan siapa saja yang tidak boleh dilawan di dalam silek yaitu

  1. Orang tua
  2. Guru
  3. Rajo/Pemerintah

Sedangkan 3 (tiga) bagian untuk mempelajari silat yaitu

  1. Bunga silat yaitu langkah
  2. Batang pengikat lawan seperti mengabek / dikabek atau diikat
  3. Isi, pengarahan ISI (isian) lebih tertutup. Dikarenakan apabila terbuka akan menimbulkan fitnah apabila orang lain melihatnya.

Masyarakat tetap mempercayai bahwa belajar silat, maka akan juga akan belajar islam. Walaupun terdapat beberapa syarat dalam mempelajari silat, tetapi tidak melenceng atau menyimpang dari ajaran Adat bersendi syarak, syarak besendi kitabullah. Artinya segala perbuatan atau pekerjaan hendaknya selalu mengingat aturan adat dan agama, janganhendaknya bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Adapun syarat-syarat yang harus dibawa ketika akan belajar silat yaitu

  1. Membawa ayam, ayam diperuntukkan untuk makan bersama. Makan bersama adalah media berinteraksi agar terjalin hubungan emosional antara satu dengan yang lain atau menjalin hubungan silaturahmi
  2. Mendoa
  3. Kain putih, Kain putih terdapat dua pengertian. Dahulu orang tua dulu datang ke surau menghantarkan anak laki-laki ke surau dan menyerahkan anaknya kepada guru di surau, sang orang tua menyerahkan hidup dan mati sang anak di surau tersebut dan kepada guru tersebut. Sehingga apabila terjadi sesuatu kepada sang anak maka orang tua akan ikhlas. Pengertian yang kedua adalah bahwa anak yangn akan belajar silat dia pergi ke surau dengan hati yang bersih.
  4. Sirih (lengkap), Sirih terdiri dari daun sirih, kapur sirih, tembakau, pinang, kapur sirih. Syarat ini mengibaratkan kepada seperti penyambutan/penerimaan
  5. Beras sekambuik (1 Liter)
  6. Pisau
  7. Jarum
  8. Cabe rawit, Cabe rawit lebih mengarah kepada pembelajaran. Seperti salah baki ampun batang / sakit teman sakit kita. Sehingga di dalam surau harus dirasakan secara bersama-sama
  9. Gula, Gula lebih mengarah kepada bahwa apapun yang dilakukan akan berguna dimana saja berada
  10. Kain sarung, Kain sarung dimaksudkan sebagai pengganti pakaian guru.

H. Rusli mengatakan tentang hubungan silat dan agama. Silek dikatakan sebagai permainan anak nagari terdiri dari

  1. Sholat yaitu berhubungan dengan Sang Khalik
  2. Silek yaitu berhubungan dengan sesama atau silaturahmi.

Mempelajari silek  bukan tentang sebuah perkelahian tetapi silek  adalah sebuah raso atau rasa. Bukan sebagai bela diri tetapi untuk membina akhlak (karakteristik/bartaratiak). Silek Tuo Pusako Lamo bukan untuk dipertandingkan karena pembentukan akhlak tersebut, silek ini menjadikan raso adalah bagian tertinggi dalam pendalaman silek itu sendiri.

Silat dibagi menjadi dua bagian yaitu laga atau pertandingan dan tradisional yaitu hubungan silaturahmi. Silat juga merupakan bayang-bayang. Maksud sebagai bayang-bayang artinya bahwa silat bukan untuk menyakiti, ibarat semut diinjak tidak mati, alu disenggol patah tiga.

Tempat untuk belajar silek adalah surau. Surau dijadikan sarana pendidikan non formal untuk membentuk karakteristik seorang anak atau membuat anak berbudi, diajar agama, adat disertai dengan keterampilan silek. Oleh sebab itu, surau menjadi tempat menuntut ilmu hingga belajar silek. Belajar silek maka akan berkaitan dengan raso dan pareso. Raso dapat diartikan sebagai simpati. Simpati adalah keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dan sebagainya) orang lain. sedangkan pareso dapat diartikan sebagai empati. Empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinnya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. sehinga keduanya yaitu raso dan pareso berkaitan satu sama lain. Hal lainnya dapat juga ditemukan didalam silek yaitu sebuah permainan. Dikatan sebuah permainan karena silek mengajarkan dalam melatih mental seseorang (murid). Ada berbagai hal untuk membentuk melatih seperti menggunakan benda tajam hanya saja jangan melukai. Itulah syarat dalam belajar silek.

Belajar silek di surau biasanya menggunakan peci, kain sarung, dan celana hitam. Apabila Guru silek  memberikan izin kepada murid, maka murid tersebut sudah mendapatkan izin. Izin yang dimaksud adalah salah satu syarat dalam belajar silek. Hal yang paling sulit biasanya di salah satu syarat belajar silek yaitu memotong ayam. Ada alasan kenapa syarat ini menjadi paling sulit. Karena yang memotong ayam juga hanya orang tertentu yang bisa melakukannya serta dari ayam tersebut bisa dilihat niat murid yang akan belajar silat, apakah murid tersebut belajar silat sepenuhnya, setengah-tengah, atau sebagainya. Makanya belajar silek sesuatu yang perlu dipertimbangkan, walaupun silek menjadi sesuatu yang tidak tabu bagi masyarakat, karena pada zaman dahulu silek sudah diajarkan di surau. Dan bagi anak laki-laki yang sudah baligh akan diantarkan orang tuanya ke surau untuk belajar.

Dalam silek ada beberapa poin penting untuk diketahui, diantaranya adalah

  1. Silat tidak hanya persoalan bela diri, metode yang diajarkan juga berkaitan dengan adat, agama, pendidikan karakter, serta muatan lokal
  2. Adab silat sangat ketat karena juga mengarah kepada proses berfikir.

H. Rusli mengatakan silat secara lahir mencari kawan, secara batin mencari Tuhan. maksud dari kalimat ini mengarah kepada bahwa secara fisik tidak untuk bertarung (mengarah kepada pembelajaran, kemampuan masing-masing tidak untuk berkelahi hanya untuk memperagakan saja) serta dahulu melepaskan murid yangn belajar silat juga dilihat secara emosional sang guru. Emosional guru sangat menentukan apakah murid tersebut sudah mencapai puncak atau tamat kaji (menyelesaikan). Hal lainnya yaitu garak jo gariak hampir sama dengan raso jo pareso. Sehingga secara visual dari pergerakan silek  terlihat cara saling merespon dan setiap yang melakukan pergerakan akan tahu detail dari gerak tersebut atau bisa dikatakan sebelum sesuatu terjadi terlebih dahulu sudah tahu dampak yang akan terjadi setelah melakukannya.

Ada dua bagian dalam silat sekarang di Minangkabau yaitu tergabung ke dalam  IPSI (Induk Organisasi Cabang Olahraga) dan Silat Tuo. Pengarahan keduanya pun sangat berbeda. IPSI silat yang diajarkan lebih mengarah kepada perlombaan dan olahraga sedangkan silat tuo mengarah kepada esensi silat itu sendiri.

Jenis-jenis aliran silat di Minangkabau yaitu

  1. Silek Alang Babega
  2. Silek Harimau Campa
  3. Silek Baringin Marapi
  4. Silek Luhak Tanah Datar
  5. Silek Kambiang Hitam
  6. Silek Kumango

Terdahulu aliran Silek terbagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu

  1. Silek Harimau Campa dari Kamboja
  2. Silek Kucing Siam dari Siam/Thailand
  3. Silek Anjing Mualim
  4. Silek Kambiang Hutan dari India sebagai hulu baling raja.

Dari beberapa paparan yang disampaikan oleh guru silek  yaitu Tan Panggak dan H. Rusli, maka didapatkan kesimpulan tentang penjelasan silek pada hari pertama. Albert Rahman Putra selaku Ketua Umum Komunitas Gubuak Kopi dan Yunus Hidayat merevier bahwa dalam Silek terdapat Garak Jo Gariak. Garak merupakan gambaran sehari-hari dan garik merupakan respon/refleks (insting) seseorang. Kemudian Silek juga memiliki lima langkah lima step ke depan. Oleh karena itu, silek tuo  adalah proses pembelajaran dan mempelajari bahwa silek bukan untuk saling memukul, hanya melihat beberapa titik masing-masing lawan untuk diketahui tanpa menyentuh lawan. Hal penting lainnya bahwa titik tertinggi dari  silek yaitu mati.

Lapuak-lapuak Dikajangi adalah sebuah perhelatan dari kegiatan studi pelestarian tradisi melalui platform multimedia. Kegiatan ini pertama kali digagas oleh Gubuak Kopi melalui program lokakarya Daur Subur pada tahun 2017, sebagai rangkaian presentasi public dalam membaca tradisi masyarakat pertanian. Sehingga untuk keberlanjutannya pada tahun 2018 Komunitas Gubuak Kopi menghadirkan kegiatan kolaborasi seni media dalam membaca nilai-nilai tradisi “silek”. Pada minggu pertama para partisipan diajak unutk mengikuti kuliah umum mengenai tradisi silek, observasi, dan bertemu beberapa perguruan/narasumber silat. Minggu berikutnya, para partisipan mendiskusikan ketertarikan isu, memproduksi karya, dan berpameran. Komunitas Gubuak Kopi mengatakan bahwa silat bukanlah hal yang asing bagi kita, silat secara tradisi dilihat sebagai lembaga pendidikan karakter, yang didalamnya meliputi olahraga, olah rasa, olah pikiran, dan lainnya.

Kegiatan Lapuak-Lapuak Dikajangi #2 adalah sebuah kegiatan lokakarya/kolaborasi seni multimedia. Kegiatan ini dilaksanakan dari tanggal 14 Oktober – 4 November 2018 di SKB Kota Solok. Untuk pameran dari hasil lokakarya/kolaborasi tersebut pada tanggal 1-4 November 2018. Kegiatan ini dipimpin oleh Direktur Program Delva Rahman, dan Albert sebagai Ketua Umum Komunitas Gubuak Kopi serta bekerja sama dengan Indonesiana, Silek Arts Festival, Seni Media. Dan didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorat Kesenian, Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, Pemerintah Kota Solok, serta masyarakat Kota Solok. Adapun Media Partner mendukung kegiatanini yaitu Solok Milik Warga, Info Sumbar, Kaba, Minang Young Artist Project, Sudut Payakumbuh, Info Kobar, Takasiboe, Jajak Kaki Solok, Klok Positif.

Seniman partisipan: Zekalver Muharam (Solok), Arum Dayu (Bandung), Prasasti Wilujeng Putri (Jakarta), Dewi Safrila (Pekanbaru), Ragil Dwi Putra (Jakarta), Palmer Keen (Yogyakarta/Amerika), Hafizan (Padang), Jatul Dokter Rupa (Lombok), Ade Jhori (Padangpanjang).

Sumber : Wawancara

Penulis : Dewi S. Darmayanti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *