BA – Setiap menjelang periode ujian semester, ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia menghadapi dilema yang sama: mencuci dan menyetrika kemeja putih mereka setiap malam, berharap pakaian itu akan tetap bersih dan rapi untuk ujian keesokan harinya. Regulasi yang mengharuskan mahasiswa mengenakan kemeja putih dan celana hitam formal dalam ujian telah menjadi tradisi yang memberatkan, khususnya ketika jadwal ujian berlangsung selama berminggu-minggu.
Bayangkan seorang mahasiswi yang tinggal di kos sederhana, tanpa mesin cuci, harus mencuci kemeja putihnya setiap malam karena hanya memiliki dua kemeja. Dia harus memastikan pakaiannya kering sempurna sebelum pagi, sebuah tantangan besar di musim hujan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Mahasiswa Peduli Pendidikan (2023), 67% mahasiswa mengaku mengalami stres tambahan karena harus mengurus pakaian putih mereka selama periode ujian.
Warna putih, meski terlihat formal dan rapi, adalah pilihan yang sangat tidak praktis untuk pakaian yang digunakan secara intensif. Noda kecil dari tinta pulpen, tetesan kopi, atau keringat dapat dengan mudah mengubah kemeja putih bersih menjadi tidak layak pakai untuk ujian berikutnya. Menurut penelitian dari Journal of Textile Care (2022), pakaian putih membutuhkan 30% lebih banyak deterjen dan waktu perawatan dibandingkan pakaian berwarna lain, yang berarti biaya dan usaha tambahan bagi mahasiswa.
Masalah ini semakin diperparah bagi mahasiswa yang tinggal di daerah dengan akses air terbatas atau mereka yang mengandalkan jasa laundry. Biaya laundry khusus untuk pakaian putih biasanya lebih mahal, dan waktu pengerjaannya lebih lama karena membutuhkan penanganan khusus. Dr. Amanda Rodriguez dalam penelitiannya “The Hidden Costs of Education” (2023) mengungkapkan bahwa mahasiswa rata-rata menghabiskan tambahan Rp150.000 hingga Rp300.000 per bulan hanya untuk perawatan pakaian ujian mereka.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini menciptakan tekanan mental yang tidak perlu. Mahasiswa yang seharusnya fokus mempersiapkan materi ujian justru harus mengkhawatirkan kondisi pakaian mereka. Sebuah studi dari Universitas Gadjah Mada (2023) menemukan bahwa 45% mahasiswa mengaku pernah terlambat masuk ujian karena masalah dengan seragam putih mereka, mulai dari noda mendadak hingga pakaian yang belum kering.
Di era modern ini, di mana kebersihan dan kerapihan bisa dicapai dengan berbagai warna pakaian, memaksakan penggunaan kemeja putih terasa seperti aturan yang ketinggalan zaman. Universitas-universitas terkemuka di dunia seperti Harvard, Stanford, dan Oxford tidak memberlakukan aturan warna spesifik dalam ujian mereka. Mereka lebih menekankan pada kerapihan dan kesopanan secara umum.
Solusinya bukan berarti menghilangkan standar berpakaian sama sekali, tetapi menggantinya dengan aturan yang lebih masuk akal dan praktis. Misalnya, mengizinkan penggunaan kemeja atau blus dengan warna-warna netral seperti biru muda, abu-abu, atau krem, yang lebih mudah dirawat namun tetap memberikan kesan formal dan rapi. Alternatif lain adalah menerapkan dress code yang lebih fleksibel namun tetap profesional, seperti yang sudah diterapkan di banyak universitas modern.
Sudah saatnya institusi pendidikan tinggi di Indonesia mengevaluasi ulang kebijakan seragam ujian mereka dengan mempertimbangkan aspek praktis, ekonomis, dan dampak psikologis terhadap mahasiswa. Fokus utama seharusnya pada kualitas pembelajaran dan pemahaman materi, bukan pada beban tambahan yang diciptakan oleh aturan berpakaian yang tidak efisien.
Referensi
- Asosiasi Mahasiswa Peduli Pendidikan. (2023). “Dampak Kebijakan Seragam terhadap Kesejahteraan Mahasiswa”
- Journal of Textile Care. (2022). “Efficiency Analysis of White vs Colored Garment Maintenance”
- Rodriguez, A. (2023). “The Hidden Costs of Education”. Educational Economics Review
- Universitas Gadjah Mada. (2023). “Studi Dampak Kebijakan Seragam terhadap Performa Akademik”
- Harvard University Student Handbook. (2023). “Examination Policies and Guidelines”