BA – Pasir Berbisik (2001), karya Nan Achnas, adalah sebuah film yang tidak hanya mengisahkan perjalanan hidup seorang ibu dan anak, tetapi juga menggambarkan bagaimana ekspektasi sosial terhadap perempuan membentuk, membatasi, dan bahkan menghancurkan mimpi-mimpi mereka. Melalui karakter Berlian dan Daya, film ini mengangkat isu gender yang lebih subtil tetapi sangat relevan: bagaimana perempuan sering dipaksa untuk hidup di bawah bayang-bayang norma sosial yang mengekang, bahkan di tengah perjuangan mereka untuk bertahan hidup.
Perempuan dan Beban Ekspektasi sebagai ‘Penjaga Tradisi’
Berlian (Christine Hakim) adalah potret perempuan yang mewarisi dan menjalankan beban tradisi. Sebagai ibu tunggal, dia harus menanggung peran ganda: melindungi Daya dari ancaman luar dan menjaga agar putrinya tidak keluar dari batas norma yang dianggap “panturan perempuan baik-baik.” Ketika Daya mulai menunjukkan minat pada tarian ronggeng, sebuah tradisi yang sering dikaitkan dengan sensualitas, Berlian dengan tegas melarang, bahkan membakar baju ronggeng milik Daya.
Tindakan Berlian mencerminkan bagaimana perempuan sering dipaksa menjadi “penjaga moralitas,” tidak hanya bagi diri mereka sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitar mereka. Namun, di balik itu, Berlian juga hidup dalam kontradiksi: dia sendiri berada di ambang norma tradisional dan kebutuhan untuk bertahan hidup. Dengan menjual jamu dan membesarkan Daya seorang diri, Berlian melawan stereotip perempuan pasif, tetapi pada saat yang sama, dia masih terkungkung oleh sistem patriarkal yang memaksa perempuan untuk menjaga citra “terhormat.”
Hak Perempuan untuk Bermimpi dan Menjadi Diri Sendiri
Daya (Dian Sastrowardoyo), sebagai karakter utama, adalah simbol perempuan muda yang ingin merdeka dari ekspektasi sosial. Namun, kebebasannya terus-menerus direnggut oleh orang-orang di sekitarnya. Impian Daya untuk menemukan ayahnya, menari ronggeng, dan hidup di luar bayang-bayang ibunya menggambarkan perjuangan perempuan muda untuk membangun identitas mereka sendiri.
Ketika Daya akhirnya dilecehkan oleh Suwito, trauma yang dia alami adalah klimaks dari rangkaian kontrol yang terus-menerus membatasi tubuh dan pilihannya. Kekerasan seksual dalam konteks ini bukan hanya tragedi personal tetapi juga simbol dari bagaimana masyarakat patriarkal menganggap tubuh perempuan sebagai objek yang dapat dikontrol dan dimanfaatkan.
Melalui Daya, Pasir Berbisik mempertanyakan: apakah perempuan berhak bermimpi di tengah masyarakat yang terus-menerus mengekang mereka?
Kontradiksi Peran Perempuan: Pelindung, Korban, dan Pelaku
Salah satu kekuatan film ini adalah menggambarkan kompleksitas peran perempuan. Berlian, meskipun bertindak sebagai pelindung Daya, secara tidak langsung menjadi pelaku kekerasan emosional dengan menekan kebebasan putrinya. Di sisi lain, dia juga korban dari sistem sosial yang memperlakukannya sebagai ibu tunggal yang rentan dan tanpa dukungan.
Agus (Slamet Rahardjo), sebagai ayah yang kembali hanya untuk menjual anaknya, memperkuat gagasan bahwa laki-laki sering kali diberikan kebebasan untuk melanggar norma, sementara perempuan yang harus menanggung akibatnya. Ini menciptakan kontras tajam dengan Berlian, yang harus membunuh Agus untuk melindungi Daya, sekaligus memutus siklus kekerasan yang terus berlanjut.
Isu Perempuan: Tubuh sebagai Medan Pertempuran
Salah satu tema paling segar yang diangkat oleh Pasir Berbisik adalah bagaimana tubuh perempuan menjadi medan pertempuran berbagai kepentingan. Tubuh Daya dikontrol oleh ibunya, dilecehkan oleh Suwito, dan dijual oleh ayahnya. Bahkan pilihan Daya untuk menari ronggeng pun dianggap ancaman terhadap moralitas komunitasnya.
Film ini dengan cerdas mengkritik bagaimana tubuh perempuan sering kali bukan milik mereka sendiri. Ini juga relevan dengan realitas modern, di mana perempuan terus-menerus menghadapi tekanan untuk memenuhi standar kecantikan, norma berpakaian, dan kontrol terhadap pilihan reproduksi mereka.
Mengapa Narasi Ini Masih Relevan?
Di era sekarang, isu tentang kebebasan perempuan untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri masih menjadi perdebatan panas. Pasir Berbisik menjadi sangat relevan dalam mengingatkan kita bahwa perjuangan perempuan tidak hanya terletak pada melawan kekerasan fisik, tetapi juga melawan ekspektasi sosial yang tidak adil.
Dengan menempatkan Berlian dan Daya di tengah latar yang terisolasi dan penuh ancaman, Nan Achnas menciptakan dunia yang memperbesar realitas perempuan di masyarakat: selalu harus bertahan, selalu harus melawan, dan selalu harus memilih antara menjadi “baik” atau menjadi “bebas.”
Kesimpulan
Pasir Berbisik bukan hanya cerita tentang ibu dan anak, tetapi juga tentang perempuan dan perjuangan mereka untuk menemukan ruang di dunia yang menolak memberikan mereka kebebasan. Dalam setiap butir pasir yang “berbisik,” ada suara perempuan yang melawan keterbatasan, trauma, dan ketidakadilan. Film ini tidak hanya menginspirasi tetapi juga mengingatkan bahwa setiap perempuan berhak untuk bermimpi dan menjadi diri mereka sendiri—tanpa harus meminta izin dari siapa pun.