Masa Kecil R.A Kartini, Seorang Perempuan Cerdas Di Lingkungan Bangsa Eropa Dan Belanda

Sejarah402 Dilihat

Bilikanalogi – 21 April di peringati sebagai Hari Kartini bertujuan untuk mengenang jasa Kartini dalam memajukan kehidupan wanita di Indonesia. Lalu, bagaimana kehidupan Kartini semasa kecil? yuk, simak.

Kartini lahir pada 21 April 1879 di Mayong sebuah kota kecil yang masuk dalam wilayah Karisidenan Jepara dari pasangan Raden Mas (R.M.) Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Kartini lahir dalam lingkungan keluarga priyayi dan bangsawan, karena itu kartini berhak menambahkan gelar Raden Ajeng (R.A.) di depan namanya. Kartini dilahirkan dengan kondisi badan yang sehat, rambut hitam dan tebal, sementara bentuk matanya bundar. R.A Kartini diberi air susu ibu juga mendapat makanan tambahan nasi tim atau pisang yang dihaluskan. Piring yang digunakan untuk tempat makan Kartini terbuat dari tempurung kelapa yang digosok halus dan memiliki ornamen-ornamen dari perak.

Sedangkan untuk pertumbuhan fisik serta motorik, ia lebih cepat menguasai dibandingkan anak-anak seusianya. pada usia 8 bulan Kartini sudah mampu untuk berjalan sendiri. Karena perkembangan Kartini yang cepat, Ayahnda R.M. Sosroningrat melakukan upacara Tedak Sinten. Upacara Tedak siten atau tedak siti adalah rangkaian prosesi adat tradisional dari tanah Jawa yang diselenggarakan pada saat pertama kali seorang anak belajar menginjakkan kaki ke tanah. Tedhak berarti turun, dan sitèn artinya tanah. Biasanya dilakukan saat anak berusia sekitar tujuh atau delapan bulan.

Perkembangan kecerdasan dalam berpikir dan sifat selalu ingin tahu juga seiringdengan pertumbuhan fisik kartini.
Pada 1880 R.M. Sosroningrat dikaruniai seorang putri dari Ibu Raden Ajeng Woerjan yang diberi nama Raden Ajeng Roekmini. Kartini juga turun menyambut gembira kehadiran adiknya karena selama masa pertumbuhannya ia bermain bersama orang-orang yang berusia lebih tua. Pada 1881 R.M. Sosroningrat kembali dikaruniai seorang puteri dari Ibu Mas Ajeng Ngasirah. Anak yang baru lahir tersebut diberi nama Raden Ajeng Kardinah.

Kartini menjadi anak yang paling menonjol karena dinilai paling cerdas. Tanpa disadari Kartini menjadi pemimpin dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh tiga saudara. Sejak kecil Kartini dikenal sebagai anak lincah yang sangat aktif bergerak, sebagaimana diceritakan dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 18 Agustus 1899, yaitu

“Saya disebut kuda kore atau kuda liar. Karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak. Dan karena sesuatu dan lain hal lagi saya dimaki-maki juga sebab saya sering sekali tertawa terbahak-bahak dan memperlihatkan banyak gigi yang dinilai perbuatan tidak sopan”

KartiniKartini, R.A. Roekmini, dan R.A. Kardinah dibesarkan dalam lingkungan kabupaten yang serba berkecukupan, karena itu mereka tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. Pada 1885 Ia dimasukan ke sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS), padahal tradisi kaum bangsawan pada masa itu melarang keras puteri-puterinya ke luar rumah, apalagi datang ke sekolah setiap hari belajar bersama anak laki-laki.

ELS merupakan sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak Bangsa Eropa dan Belanda Indo. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan di ELS hanya anak yang orang tuanya menjadi pejabat tinggi pemerintah. Bahasa pengantar di ELS adalah bahasa Belanda, sehingga Ia bisa meningkatkan kemampuan bahasanya. Siswas ELS banyak yang menyukainya, karena sifatnya luwes, periang, dan pandai. Masa istirahat menjadi waktu yang sangat ditunggu, karena bisa bermain bebas dengan temannya. Suasana tersebut sulit didapatkan saat berada dalam lingkungan kabupaten yang penuh dengan aturan-aturan hidup bangsawan. Kegiatan belajar di ELS mampu diikuti dengan baik, bahkan Ia termasuk siswa cerdas yang mampu bersaing dengan siswa lainnya. Keberadaannya di ELS menarik perhatian banyak orang Eropa, karena menjadi siswa pribumi yang mampu berbahasa Belanda dengan baik. Kemampuan tersebut diperoleh dengan cara rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda, serta mempraktekan bahasa belanda pada saat bermain dan menemui tamu-tamu bangsa Belanda yang datang di kabupaten.

Sekolah di ELS menjadi masa yang sangat menyenangkan karena bisa mendapatkan berbagai pengalaman dan pengetahuan. Pelajar pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, murid dan guru dari Belanda memandang rendah pelajar pribumi. Perlakuan tersebut tidak mengendurkan semangatnya untuk terus belajar, justeru memacu semangatnya untuk terus berprestasi agar bisa mengalahkan siswa lainnya. Bacaannya dari hari ke hari semakin bertambah dengan tema yang beragam. Pengetahuannya tidak lagi sebatas lingkungan tempat tinggalnya, tapi sudah menembus batas-batas waktu dan wilayah yang sangat jauh. Dalam usia yang masih belia Kartini sudah mengenal dan memahami pemikiran dan perjuangan pejuang wanita dari India Pundita Ramambai, sebagaimana diceritakan kepada Nyonya Van Kol :

“Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya masih ingat betul: saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan semangat menyala-nyala saya membaca tentang dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira: jadi bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam jika bisa membebaskan, memerdekakan diri”.

Hari-hari yang dilewatinya bersama adik-adiknya dipenuhi dengan jadwal kegiatan yang cukup padat, selesai sekolah harus belajar membaca Al-Qur’an, belajar bahasa jawa, berlatih menyulam dan menjahit. Hari Minggu menjadi hari yang istimewa, karena Kartini terbebas dari kegiatan belajar. Waktu libur ini dimanfaatkan untuk mengajari adik-adiknya memasak, karena Kartini menguasai dengan baik resep-resep masakan Jawa dan Eropa. Hasil masakan mereka menjadi menu istimewa yang akan dihidangkan dalam meja makan keluarga. Makanan olahan tiga saudara disukai oleh semua anggota keluarga. Orang tua Kartini berusaha memberikan pendidikan yang seimbang antara otak dan akhlak, serta cinta dan kasih sayang.

Proses pendidikan yang dijalani oleh Kartini menjadikan dirinya mampu menempatkan diri dengan baik dalam pergaulan. Teman-temannya tidak hanya berasal dari golongan pribumi. Anak-anak dan orang dewasa dari Belanda ada yang menjalin persahabatan dengan dirinya. Di sekolah Kartini bersahabat dengan Letsy Detmar anak kepala sekolah, sementara di rumah Kartini menjalin hubungan baik dengan isteri asisten residen Jepara Nyonya Marie Ovink-Soer. Persahabatan dengan Letsy menyadarkan Kartini akan pentingnya terus belajar dan memiliki cita-cita.

Sumber :  Buku Sisi Lain Kartini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *